Header Ads

Himpaudi Jayaa

Ngaji dengan Metode Otak Kanan

Kesadaran orang tua akan pendidikan agama semakin meningkat, terbukti banyak orang tua yang berkeinginan untuk menyekolahkan putra-putrinya ke lembaga yang memiliki nilai plus dalam bidang keagamaan. berbagai alasan orang tua menyekolahkan putra-putrinya di lembaga pendidikan Islam. Sebagai manusia beragama orang tua sadar, pondasi utama manusia adalah keimanan, dengan keimanan kepada sang kholiq yang Maha Mengetahui menjadi kendali atas perilaku-perilaku yang tidak terpuji. Selain itu tayangan televisi tentang hafidz cilik, yang selalu membuat air mata merembes ketika lantunan ayat demi ayat keluar dari mulut si mungil dengan lagu yang menyentuh hati. Membuat orang tua mempunyai impian, ingin memiliki putra-putri yang menjadi permata yang kelak menghadiahkan mahkota surga.

Menilik fenomena yang membahagiakan ini, memacu lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat pra sekolah hingga tingkat SLTA berlomba-lomba memenuhi harapan orang tua pendidikan plus agama. Berinovasi yang awalnya hanya pendidikan pada umumnya menjadi lembaga yang agamis, lembaga yang memposisikan agama islam sebagai agama Universal bukan pendidikan yang mengarah pada sekularisasi. Namun perlu menjadi pertimbangan lembaga-lembaga yang melayani anak-anak usia dini, perlu diingat tentang tahap perkembangan anak. Karena tidak dipungkiri lembaga-lembaga yang menawarkan nilai plus, menyelipkan pendidikan Al-Qur’an (membaca Al-Qur’an) pada kurikulum khasnya. Jangan sampai hanya karena memenuhi permintaan pasar, tanpa memperhatikan cara belajar anak usia dini dan tahap perkembangan usianya.

Sama halnya dengan mengajarkan Calistung  secara konvensional, bisa menimbulkan cedera otak pada anak. Selain itu pembelajaran Al-Qur’an dengan metode yang tidak tepat, bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman kepada anak-anak, dan menimbulkan rasa tidak menyukai membaca Al-Qur’an, dikarenakan ketidaksiapan perkembangan anak atau metode yang tidak tepat. Untuk itu Wafa menawarkan metode mengajarkan Al-Qur’an dengan metode otak kanan. Bisa dibayangkan metode otak kanan, berarti yang dirangsang adalah otak yang kreatif, bersenang-senang dan memiliki long memories. Berbeda dengan metode membaca Al-Qur’an kebanyakan, cenderung formal dan kurang sesuai dengan ciri belajar anak usia dini. Sama dengan metode-metode lainnya metode Wafa ini pun memiliki kelemahan.

Keunggulan metode Wafa untuk Pendidikan Al-Qur’an bagi anak usia dini adalah menggunakan bahasa ibu, gerakan, lagu, siroh dan metode kartu. Menggunakan bahasa ibu, metode Wafa dalam penyusunan buku jilidnya tidak sama dengan kebanyakan buku jilid ngaji metode lainnya (a,ba, ta, tsa…….ya) , karena Wafa menyusun huruf perhuruf membentuk kata yang mirip dengan bahasa ibu dengan kata lain bahasa kita, bahasa Indonesia. Penyusunan pengenal huruf awal dibagi menjadi beberapa konsep (kelompok huruf yang membentuk kata) diantaranya : (ma, ta, -sa, ya, -ka, ya,- ra, da), (a, da, -tho, ha, -ba, wa, -ja, la), (Sho, fa, -na, ma, -qo, ta, -la,ma), (Dza, sya, -gho, za, -ba, wa, -ka, dho). (ha, tsa, kho, dzo, sa, ma, dho, ‘a)

Yang kedua dengan menggunakan gerakan, sebelum mengenalkan huruf ke anak-anak, guru mengajak diskusi dengan menggunakan gerakan, misalkan: “anak-anak ini apa? (sambil menunjuk mata), mata, mata, mata,  guru meminta anak-anak menirukan ucapan dan gerakan guru. Setelah itu guru menunjukkan kartu huruf ma dan ta. Ini disebut dengan metode kartu, anak diminta menyebutkan huruf di kartu yang ditunjuk oleh guru. Berulang-ulang hingga anak hafal, selain itu diselingi oleh tepuk sebagai standart ketukan bacaan pendek. “tepuk dua” mata (sambil tepuk). Kata berikutnya pun sama, -saya, -kaya, -roda, masing-masing kata ada gerakan unik yang diperagakan dan ditirukan oleh siswa. Dengan memadukan otak kanan dan kiri diharapkan anak belajar dengan mudah dan senang.

Yang ketiga dengan melagukan, penerimaan komunikasi anak usia dini yang paling maksimal adalah dengan intonasi atau nada. Dengan melagukan setiap apa yang dibaca, anak-anak akan lebih mudah menyerap. Berlagu merupakan tindakan otak kanan, yang sebisa mungkin memberikan memori jangka panjang kepada anak-anak. Selain itu Islam menganjurkan membaca al-qur’an dengan merdu dan dengan lagu yang indah,. Pilihan lagu yang digunakan Wafa adalah lagu hijaz, mengapa? Dikarenakan untuk menjadi imam shalat lagu tartil yang paling pas salah satunya adalah lagu Hijaz. Karena penerapan mengajinya untuk anak-anak hijaznya agak sedikit improvisasi dari lagu hijaz aslinya, dengan tujuan mempermudah anak-anak untuk melagukannya.

Selain bahasa ibu, kartu, gerakan dan tepuk, buku wafa pun dilengkapi dengan gambar seri sirah nabi dan sahabat, ada juga kisah teladan. Hal ini diharapkan sebagai pancingan untuk memulai pembelajaran atau sebagai pemusat perhatian sebelum anak-anak mengenal huruf-huruf dalam kartu wafa maupun kalender dan buku Jilid. Metode wafa ini menuntut guru-guru atau ustadz-ustadzah untuk kreatif dalam memberikan pancingan ketika akan memulai konsep. Bisa dengan tebak-tebakan atau dengan cara ekstrim guru mendemonstrasikan dan mengimajinasikan konsep yang akan di ajarkan kepada anak. Salah satu contoh mengenalkan bacaan dhommah, dengan pancingan huruf di atas adalah “hu”, ustadz ketika masuk kelas bisa berimajinasi menjadi pasukan peran dengan berteriak “ hu, hu, hu”. Hal ini diharapkan anak-anak memiliki kesan yang berbeda disetiap konsep yang akan dikenalkan, sehingga mudah nyantol di otak anak. Selain tujuan di atas, yang paling utama Wafa ingin menjadikan anak-anak jatuh cinta terhadap Al-Qur’an, tidak memandang belajar membaca Al-Qur’an itu membosankan dan menakutkan.

Dari beberapa kelebihan di atas, metode Wafa pun memiliki kelemahan diantaranya dari segi makhorijul huruf, sengaja mengambil sanad yang mudah, sehingga hasil bacaan makhrojnya kurang sempurna. Selain itu sebagai metode belajar Al-Qur’an yang tergolong baru, untuk sertifikasi guru Wafa pun tergolong mudah. Ada beberapa syarat ketika mau menjadi ustadz-ustadzah menggunakan metode Wafa, yang pertama harus mengikuti training terlebih dahulu, tentang metode penyampaiannya, lagunya hingga penggunaan medianya. Yang kedua ada tahsin yang menentukan lulus tidaknya ustdz tersebut untuk menggunakan metode Wafa. Ringannya persyaratan untuk menjadi guru Wafa diantaranya ketika guru tidak lulus 100% menguasai metode wafa dan bacaannya, guru tersebut masih bisa mengajar menggnunakan metode wafa. Semisal guru A dia lulus di jilid 1, tapi jilid 2 ke atas tidak lulus, maka guru tersebut masih bisa mengajar menggunakan metode wafa jilid 1 saja, jilid 2 ke atas tidak boleh. Kelemahan selanjutnya karena masih belum banyak yang menggunakan Wafa di Wilayah Bojonegoro, untuk pembinaannya masih di Surabaya, jauh dan butuh waktu dan tenaga untuk mendalami metode wafa. (Mazie_gym)

No comments